Tulis berjalan

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA SEMOGA BERMANFAAT BY SEPTIAN INDRA WAHYU

Jumat, 10 Januari 2014

Globalisasi pasar keuangan


Globalisasi finansial atau globalisasi keuangan menurut definisi, berarti terintegrasinya pasar keuangan dari semua negara di dunia menjadi satu (Arestis et al,2005). Ketika hambatan perdagangan terus direduksi, komunikasi meningkat, bermunculan investasi langsung luar negeri maka globalisasi keuangan tersebut telah berjalan. Peran otoritas kemudian tetap dibutuhkan walaupun perannya tergerus oleh kinerja pasar. Kegagalan beberapa otoritas finansial dalam menangani krisis Asia belum bisa dijadikan tolak ukur bahwa otoritas ekonomi tidak dibutuhkan. Keberadaannya masih tetap dibutuhkan guna mengatur dan mengawasi kegiatan ekonomi agar menjaga krisis tidak berulang.


Globalisasi finansial selanjutnya perlu untuk diregulasi. Kebebasan ekonomi yang terjadi pada era globalisasi perlu untuk dibatasi. Peran otoritas terutama dalam negeri  diharapkan meningkat  untuk membatasi investasi yang masuk, kemudian peningkatan tarif masuk dapat dilakukan agar globalisasi ini tidak hanya menguntungkan negara-negara maju. Volatilitas yang terjadi pada pasar finansial global seperti saham dan mata uang yang mudah berubah dapat disiasati dengan cara otoritas negara harus menjaga stabilitas ekonomi makro dan memberi dukungan bagi bisnis dan dunia usaha dalam negeri. Sehingga kerentanan pada sistem capital flow dimana pihak asing dapat menanamkan modalnya secara short-term dapat direduksi.


Bhagwati sendiri sebenarnya tidak secara langsung mengungkapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti sebarapa besar prospek otoritas dalam finansial global, regulasi seperti apa yag dibutuhkan dalam globalisasi finansial, dan bagaimana mengatasi volatilitas pada globalisasi finansial. Bhagwati lebih mengungkapkan pada masalah-masalah arus modal (capital flow). Bahwa otoritas atau institusi perbankan yang ada belum cukup mampu untuk menghadapi krisis yang melanda karena institusi tersebut belum beradaptasi dengan rezim arus modal. Dan juga masalah kesalahan persepsi sebagian besar ahli ekonomi dalam memandang krisis Asia.


Globalisasi sendiri menurut penulis tidak dapat dihindari, terlepas dari perdebatan bahwa munculnya globalisasi merupakan konspirasi negara besar untuk melanggengkan kekuasannya. Negara seharusnya sekarang lebih peduli terhadap cara-cara untuk survive di era globalisasi. Globalisasi finansial dimana integrasi pasar bebas memang terkesan hanya menguntungkan negara maju dimana mereka telah siap segalanya baik produksi dan teknologi yang menunjang. Negara berkembang atau dunia ketiga kemudian yang secara teknologi telah kalah start bukan berarti tidak dapat bersaing. Contoh nyata dapat dilihat dari kemajuan ekonomi India, Cina, dan Brazil. Dari ketiga negara ini maka anggapan bahwa negara berkembang tidak akan bisa maju mulai sirna. Dengan memajukan industri dalam negeri dan memperbesar ekspor dan disertai strategi yang jitu terbukti perkembangan ekonomi yang dahsyat dapat tercapai. Terlebih setelah krisis ekonomi 2008 dimana negara-negara maju mengalami defisit perkembangan. Hal ini tidak diikuti negara berkembang, bahkan Cina, India, dan Indonesia masih tetap maju terus ekonominya.


Perkembangan ekonomi kemudian menjadi indikator bahwa situasi pasar di negara tersebut juga baik. Arus modal asing yang bersifat terus mencari pasar yang menguntungkan tentunya akan mengalihkan perhatian mereka pada  negara-negara yang berhasil lolos dari jeratan krisis. Modal ditanam secara besar-besaran, nilai mata uang terapresiasi. Namun masuknya modal asing ini kemudian juga membawa dilema. Ketika modal terus masuk dan mata uang terapresiasi terhadap dollar maka yang terjadi adalah daya saing barang ekspor menurun. Barang ekspor menjadi mahal harganya di negara tujuan. Kemudian arus modal yang hanya bersifat jangka pendek (short-term) juga akan mengancam ekonomi seperti yang telah terjadi pada krisis Asia 1997.


Krisis Asia sendiri menurut Bhagwati (2004) bukan merupakan akibat darilaw of diminishing returns dimana negara akan mencapai puncak perkembangannya dan mengalami kejenuhan. Dan juga bukan dari kroni kapitalisme. Krisis ini, dipicu oleh kepanikan arus keluar modal, produk dari liberalisasi keuangan yang tergesa-gesa dan tidak hati-hati, hampir selalu di bawah tekanan asing, yang memungkinkan arus modal bebas internasional  jangka pendek tanpa perhatian yang memadai bagi potensi ampuh dari kerugian dari  globalisasi tersebut (Bhagwati, 2004;199-200). 


Arus modal kemudian menjadi penyebab utama krisis Asia. Arus modal menurut Bhagwati (2004) membawa masalah masalah seperti  peminjaman modal besar berjangka pendek. Peminjaman modal berjangka pendek mungkin memang dikelola secara baik namun dibaliknya telah menyimpan kepanikan yang akhirnya timbul pada saat krisis. Karena kurangnya transparansi sebarapa banyak modal dipinjam maka kepanikan dapat menyebar secara cepat. Kedua adalah praktek kelembagaan belum sesuai dimodifikasi untuk transisi ke rezim arus modal bebas (Bhagwati,2004;203). Ketiga pada waktu yang bersamaan diperparah oleh kurangnya regulasi perbankan dan keuangan.


Negara berkembang dianggap belum siap secara kelembagaan untuk menghadapi arus modal bebas. Maka perlu adanya adaptasi dari lembaga terlebih dahulu sebelum negara memutuskan untuk secara penuh masuk dalam arus pasar modal. Perbankan juga perlu untuk meningkatkan proteksi dan mengubah regulasi yang sekiranya belum sempurna agar keadaan pasar bebas menjadi tidak sepenuhnya bebas dan menguntungkan para spekulan.

Penulis kemudian setuju dengan pendapat Bhagwati mengenai akibat dari arus modal. Arus modal yang masuk memang tidak harus diterima begitu saja, terutama yang berjangka pendek. Sebagai contoh adalah derasnya modal masuk 1997 yang kemudian menimbulkan krisis di Asia. Ketika krisis terjadi tiba-tiba para investor menarik dananya di negara tersebut dan penarikan modal secara besar-besaran terjadi. Hal ini mengakibatkan negara kolaps. Oleh karena itu negara seharusnya berhati-hati dalam menangani ancaman arus masuk yang bersifat hot money. Otoritas keuangan dalam negeri seperti Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia kemudian diperlukan untuk meningkatkan pengawasan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.


Sumber :
Arestis, Philip; Basu, Santonu; Mallick Sushanta, 2005. “Financial globalization: The Need for a Single Currency and a Global Central Bank “ dalam “http://connection.ebscohost.com/c/articles/16490389/financial-globalization-need-single-currency-global-central-bank [diakses 24 Maret 2013]
Bhagwati,Jagdish.2004."The Perils of Gung-ho International Financial Capitalism", dalam In Defense of Globalization,Oxford: Oxford University Press,p p. 199-207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar