Globalisasi finansial atau globalisasi
keuangan menurut definisi, berarti terintegrasinya pasar keuangan dari semua
negara di dunia menjadi satu (Arestis et al,2005). Ketika hambatan perdagangan
terus direduksi, komunikasi meningkat, bermunculan investasi langsung luar
negeri maka globalisasi keuangan tersebut telah berjalan. Peran otoritas
kemudian tetap dibutuhkan walaupun perannya tergerus oleh kinerja pasar.
Kegagalan beberapa otoritas finansial dalam menangani krisis Asia belum bisa
dijadikan tolak ukur bahwa otoritas ekonomi tidak dibutuhkan. Keberadaannya
masih tetap dibutuhkan guna mengatur dan mengawasi kegiatan ekonomi agar
menjaga krisis tidak berulang.
Globalisasi finansial selanjutnya perlu
untuk diregulasi. Kebebasan ekonomi yang terjadi pada era globalisasi perlu
untuk dibatasi. Peran otoritas terutama dalam negeri diharapkan meningkat
untuk membatasi investasi yang masuk, kemudian peningkatan tarif masuk
dapat dilakukan agar globalisasi ini tidak hanya menguntungkan negara-negara
maju. Volatilitas yang terjadi pada pasar finansial global seperti saham dan
mata uang yang mudah berubah dapat disiasati dengan cara otoritas negara harus
menjaga stabilitas ekonomi makro dan memberi dukungan bagi bisnis dan dunia
usaha dalam negeri. Sehingga kerentanan pada sistem capital flow dimana
pihak asing dapat menanamkan modalnya secara short-term dapat
direduksi.
Bhagwati sendiri sebenarnya tidak secara
langsung mengungkapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti sebarapa
besar prospek otoritas dalam finansial global, regulasi seperti apa yag
dibutuhkan dalam globalisasi finansial, dan bagaimana mengatasi volatilitas
pada globalisasi finansial. Bhagwati lebih mengungkapkan pada masalah-masalah
arus modal (capital flow). Bahwa
otoritas atau institusi perbankan yang ada belum cukup mampu untuk menghadapi
krisis yang melanda karena institusi tersebut belum beradaptasi dengan rezim
arus modal. Dan juga masalah kesalahan persepsi sebagian besar ahli ekonomi
dalam memandang krisis Asia.
Globalisasi sendiri menurut penulis
tidak dapat dihindari, terlepas dari perdebatan bahwa munculnya globalisasi
merupakan konspirasi negara besar untuk melanggengkan kekuasannya. Negara
seharusnya sekarang lebih peduli terhadap cara-cara untuk survive di era
globalisasi. Globalisasi finansial dimana integrasi pasar bebas memang terkesan
hanya menguntungkan negara maju dimana mereka telah siap segalanya baik
produksi dan teknologi yang menunjang. Negara berkembang atau dunia ketiga
kemudian yang secara teknologi telah kalah start bukan berarti tidak dapat
bersaing. Contoh nyata dapat dilihat dari kemajuan ekonomi India, Cina, dan
Brazil. Dari ketiga negara ini maka anggapan bahwa negara berkembang tidak akan
bisa maju mulai sirna. Dengan memajukan industri dalam negeri dan memperbesar
ekspor dan disertai strategi yang jitu terbukti perkembangan ekonomi yang
dahsyat dapat tercapai. Terlebih setelah krisis ekonomi 2008 dimana
negara-negara maju mengalami defisit perkembangan. Hal ini tidak diikuti negara
berkembang, bahkan Cina, India, dan Indonesia masih tetap maju terus
ekonominya.
Perkembangan ekonomi kemudian menjadi
indikator bahwa situasi pasar di negara tersebut juga baik. Arus modal asing
yang bersifat terus mencari pasar yang menguntungkan tentunya akan mengalihkan
perhatian mereka pada negara-negara yang berhasil lolos dari jeratan
krisis. Modal ditanam secara besar-besaran, nilai mata uang terapresiasi. Namun
masuknya modal asing ini kemudian juga membawa dilema. Ketika modal terus masuk
dan mata uang terapresiasi terhadap dollar maka yang terjadi adalah daya saing
barang ekspor menurun. Barang ekspor menjadi mahal harganya di negara tujuan. Kemudian
arus modal yang hanya bersifat jangka pendek (short-term)
juga akan mengancam ekonomi seperti yang telah terjadi pada krisis Asia 1997.
Krisis Asia sendiri menurut Bhagwati
(2004) bukan merupakan akibat darilaw of
diminishing returns dimana negara akan mencapai puncak
perkembangannya dan mengalami kejenuhan. Dan juga bukan dari kroni kapitalisme.
Krisis ini, dipicu oleh kepanikan arus keluar modal, produk dari liberalisasi
keuangan yang tergesa-gesa dan tidak hati-hati, hampir selalu di bawah tekanan
asing, yang memungkinkan arus modal bebas internasional jangka pendek
tanpa perhatian yang memadai bagi potensi ampuh dari kerugian dari
globalisasi tersebut (Bhagwati, 2004;199-200).
Arus modal kemudian menjadi penyebab
utama krisis Asia. Arus modal menurut Bhagwati (2004) membawa masalah masalah
seperti peminjaman modal besar berjangka pendek. Peminjaman modal
berjangka pendek mungkin memang dikelola secara baik namun dibaliknya telah
menyimpan kepanikan yang akhirnya timbul pada saat krisis. Karena kurangnya
transparansi sebarapa banyak modal dipinjam maka kepanikan dapat menyebar
secara cepat. Kedua adalah praktek kelembagaan belum sesuai dimodifikasi untuk
transisi ke rezim arus modal bebas (Bhagwati,2004;203). Ketiga pada waktu yang
bersamaan diperparah oleh kurangnya regulasi perbankan dan keuangan.
Negara berkembang dianggap belum siap
secara kelembagaan untuk menghadapi arus modal bebas. Maka perlu adanya
adaptasi dari lembaga terlebih dahulu sebelum negara memutuskan untuk secara
penuh masuk dalam arus pasar modal. Perbankan juga perlu untuk meningkatkan
proteksi dan mengubah regulasi yang sekiranya belum sempurna agar keadaan pasar
bebas menjadi tidak sepenuhnya bebas dan menguntungkan para spekulan.
Penulis kemudian setuju dengan pendapat
Bhagwati mengenai akibat dari arus modal. Arus modal yang masuk memang tidak
harus diterima begitu saja, terutama yang berjangka pendek. Sebagai contoh
adalah derasnya modal masuk 1997 yang kemudian menimbulkan krisis di Asia.
Ketika krisis terjadi tiba-tiba para investor menarik dananya di negara
tersebut dan penarikan modal secara besar-besaran terjadi. Hal ini
mengakibatkan negara kolaps. Oleh karena itu negara seharusnya berhati-hati
dalam menangani ancaman arus masuk yang bersifat hot money. Otoritas keuangan dalam negeri
seperti Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia kemudian diperlukan untuk
meningkatkan pengawasan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sumber :
Arestis, Philip; Basu, Santonu; Mallick
Sushanta, 2005. “Financial globalization: The Need for a Single Currency and a
Global Central Bank “ dalam
“http://connection.ebscohost.com/c/articles/16490389/financial-globalization-need-single-currency-global-central-bank
[diakses 24 Maret 2013]
Bhagwati,Jagdish.2004."The Perils
of Gung-ho International Financial Capitalism", dalam In Defense of Globalization,Oxford: Oxford
University Press,p p. 199-207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar